Jerman yang Bukan Jejer Kauman (10)

Mungkin ini tulisan terakhir mengenai Jerman mengingat Penulis akan kembali ke tanah air tanggal 27 Agustus 2009. Akhir pekan ini telah memasuki bulan Ramadan 1430 H, maka Penulis pun berketetapan untuk tidak melakukan kegiatan ke luar kota Karlsruhe dan lebih berkonsentrasi untuk menjalani ibadah puasa dan mempersiapkan kepulangan ke tanah air. Kegiatan ke luar rumah pun dibatasi, apalagi mengingat musim panas di Jerman konon tengah memasuki puncaknya, banyak orang berlibur dan suhu udara pun memuncak ke tingkat yang bisa menyaingi kondisi di Indonesia.

Untuk menjalani ibadah puasa, tentunya harus menentukan dulu awal 1 Ramadan (awal puasa). Jika di Indonesia sudah disepakati awal puasa pada hari Sabtu tanggal 22 Agustus 2009, maka di Jerman ternyata dimulai sehari lebih awal, yaitu hari Jumat tanggal 21 Agustus 2009, setidaknya itu yang ditetapkan oleh lembaga yang berwenang. Sebagian rekan Penulis ada yang memulai puasa mulai tanggal 21, ada juga yang mulai tanggal 22. Yang jelas, kapanpun mulai, ibadah puasa di Jerman saat ini memang menjadi tantangan tersendiri bagi yang menjalankannya. Pertama, musim panas membuat periode waktu puasa menjadi lebih panjang, jika di Indonesia sekitar 14 jam, di sini menjadi 16 jam karena matahari terbenam (Maghrib) baru pada pukul 20.30. Tahun depan akan lebih menantang karena periode puasa akan menjadi sekitar 18 jam (matahari terbenam pukul 21.30). Selain itu, berpuasa sebagai minoritas berarti tidak ada pengingat waktu buka dan sahur, tidak ada ucapan selamat berpuasa di mana-mana, tidak ada ruang untuk acara puasa di media massa, mayoritas yang tidak berpuasa pun menjalankan kegiatannya seperti biasa, baik soal makan, minum, dan terutama gaya berpakaian musim panas yang cenderung ‘terbuka’.

Buka Puasa Bersama

Buka Puasa Bersama

Tentu saja masih ada keping-keping Ramadan yang tersisa. Acara buka puasa bersama yang diselenggarakan IKMIK hari Sabtu sore kemarin adalah salah satunya. Acaranya jauh lebih sederhana daripada acara serupa di Indonesia. Selain pesertanya yang sedikit, menu makanan yang sederhana (walau tetap berlimpah), waktu yang sempit (mengingat waktu Maghrib yang lebih larut) sehingga kami harus buru-buru pulang jika tidak ingin ketinggalan tram/bus. Bagi Penulis, ini merupakan saat terakhir berkumpul dengan komunitas Indonesia di Karlsruhe, sehingga kami sekalian berpamitan dengan rekan-rekan yang lain. Pernik lainnya adalah saat menyiapkan hidangan berbuka dan sahur di rumah. Untuk mengantisipasi waktu tidur dan sahur, kami menyiapkan makanan sahur sebelum berangkat tidur. Langkah ini cukup menyelamatkan kami saat bangun agak mepet dengan waktu Imsak. Setidaknya kami lebih cepat makan daripada memasak.

Acara buka bersama juga diadakan di masjid-masjid, yang jumlahnya tidak banyak di kota Karlsruhe. Karena pertimbangan waktu dan jarak masjid, kami hanya menghadiri buka bersama di masjid Hagia Sofia di Hirch Strasse. Tidak ada perbedaan dengan acara buka puasa di tempat lain, diawali dengan membatalkan puasa (masing-masing kami dibagikan kurma), salat maghrib berjamaah, dan dilanjutkan berbuka dengan hidangan khas Turki. Saat itu, hidangan berupa roti, nasi, salad, dan lauk berupa kari. Hidangan disajikan dalam kantin di bawah masjid.

Bye, Bye My Friend!

Bye, Bye My Friend!

Persiapan pulang sendiri merupakan ritual yang cukup menguras konsentrasi dan energi. Mengemasi semua barang ke dalam tas/koper adalah satu hal, disusul dengan menimbangnya agar tetap di bawah ambang batas maksimum bagasi pesawat terbang. Selanjutnya, barang-barang yang tersisa dan tidak ikut dibawa harus dipilah antara yang dibuang, dihibahkan kepada orang lain, dan yang tetap (dan boleh) ditinggalkan. Selanjutnya adalah pembersihan total kamar tidur dan fasilitas pendukungnya (kamar mandi, dapur), diakhiri dengan serah terima kunci kamar dan pengembalian uang jaminan kamar. Semoga saja semuanya berjalan lancar sampai bisa tiba kembali di tanah air dalam keadaan selamat.

Tinggalkan komentar